Akar Fitnah dalam Sejarah Umat Islam Hingga Lahirnya JIL
oleh: Abu Hamzah al-Sanuwi, Lc, M.Ag
A. Pada Masa Klasik
Dulu umat Islam adalah satu, agama Islam berdiri tegak pada
masa khilafah Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhuma , takala Umar terbunuh
secara syahid maka pecahlah pintu fitnah, orang-orang yang berhati busuk
memimpin demontrasi hingga mereka menyembelih khalifah Usman ibn Affan
al-Syahid tanpa ada perlawanan sedikitpun. Maka terpecahlah suara umat Islam
hingga terjadilah peristiwa perang unta dan perang shiffin. Maka saat itu
muncullah kelompok Khawarij yang mengkafirkan para sahabat-sahabat besar, lalu
muncul Syi'ah (Rafidhah) dan Nashibah.
Pada masa akhir sahabat, muncul Qadariyah, lalu muncul Mu'tazilah di
Bashrah, Jahmiyah dan Mujassimah di Khurasan di tengah-tengah masa Tabi'in
ketika sunnah dan orang-orangnya masih berkuasa, maka ketika masuk abad ketiga,
muncullah khalifah al-Makmun yang cerdik dan rasionallis, dia mendatangkan
buku-buku filsafat yunani hingga Jahmiyah dan Mu'tazilah mengangkat kepala,
begitu pula Syi'ah. (Siyar A'lam al-Nubala 11/236).
- khawarij
Mereka adalah pengikut Ali yang kecewa dengan tahkim,
mereka meyakini bahwa tahkim tersebut maksiat dan kufur, lalu mereka terpecah
menjadi 20 kelompok dan yang masih tersisa hingga kini adalah al-Ibadiyah.
Mereka menganggap semua sahabat sebelum tahkim adalah adil semua, kemudian
mereka mengkafirkan sahabat dan orang-orang yang ridha dengan tahkim, dengan
demikian banyak sunnah Nabi yang mereka ingkari, terutama hadits-hadits tentang
fadhilah ahlu bait.
- Syi'ah
Mereka adalah kelompok yang melampaui batas dalam
mencintai Ali t, hingga mereka mengkafirkan semua sahabat kecuali empat hingga lima belas sahabat yang
dianggap setia dengan Ali. Dengan demikian mereka menolak sunnah-sunnah Nabi
yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi e , terutama mereka mengingkari
hadits-hadits tentang manaqib sahabat t .
- Mu'tazilah
Paham I'tizal yang dicetuskan oleh Wasil ibn Atha'
(w. 131 H), tidaklah mengikuti jalur politik sebagaimana khawarij dan syi'ah,
tetapi mengikuti jalur pemikiran murni yang dibangun di atas logika filsafat
Yunani, sehingga mereka mengingkari hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah dan
tentang ghaibiyyat.
Mu'tazilah terpecah menjadi 22 kelompok yang saling
mengkafirkan di antara mereka. Di antara pecahan mereka adalah:
- Washiliyah: pengikut Wasil ibn Atha' yang meragukan keadilan para sahabat
sejak terjadinya fitnah (terbunuhnya Usman).
- Amriyah: Pengikut Amr ibn Ubait yang meyakini kefasikan para sahabat sejak
zaman fitnah.
- Nazhzhamiyah: Pengikut Abu Ishaq Ibrahim ibn Sayyar al-Nazhzhami, yang
mencaci maki para sahabat-sahabat besar dan menuduh mereka dengan kata-kata
dusta, bodoh dan munafik. Ketiga kelompok ini menolak sunnah-sunnah Nabi yang
riwayatnya dari para sahabat tersebut. Lebih dari itu al-Nazhzhami mengingkari
hujjah ijma' dan qiyas dan mengkirai Qath'iyah hadits mutawatir.
- Hudzailiyyah: pengikut Muhammad ibn al-Hudzail al-Allaf, yang menolak hadits
ahad kecuali jika diriwayatkan oleh 20 orang yang salah satunya adalah ahli
Syurga.
Dengan demikian yang membuka pintu lebar-lebar bagi
para Orientalis untuk mencela dan mendustakan para sahabat Nabi e adalah kaum
Mu'tazilah setelah sebelumnya dilakukan oleh Syi'ah.
- Pengaruh Mu'tazilah pada
sebagian ahli fiqh
Setelah serangan Mu'tazilah tehadap sunnah, maka
muncullah tokoh Mu'tazilah Bisyr al-Murisi (w. 218 H) yang dalam fiqh menganut
madzhab Hanafi, begitu pula Qadhi Isa ibn Aban (w. 221 H), mereka berdua
berpendapat bahwa Qiyas (akal) harus didahulukan dari pada hadits ahad bila
perawinya tidak faqih seperti Abu Hurairah dan Anas ibn Malik t . pemikiran
mereka yang menyimpang ini tidak laku hingga akhirnya ada kelompok
mutaakhkhirin dari orang-orang Hanafiyah yang membangun ushul dan furu'
berdasarkan pendapat Isa ibn Aban ini, sehingga mereka menta'wil hadits-hadits
shahih dengan ta'wil yang bathil. (lihat, Shalahudin Maqbul, Zawabi' Fi Wajh
al-Sunnah hal. 51-65).
B. Pada Masa Modern
Pada masa modern ini sunnah banyak mendapatkan perlawanan dari orang-orang
yang jatuh mentalnya dan merasa inforioritas di hadapan peradaban Barat yang
menjadi penjajah.
Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1890 M) yang membujuk kaum
muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Iggris, ia juga
menolak Tafsir al-Qur'an yang sudah ada, ia kemudian menulis tafsir dalam 6
jilid dengan metode baru yang banyak dipengaruhi oleh budaya barat, ia juga
menolak ijma' dan konsep ijjtihad. Pada tahun 1877 ia membuka suatu kolese yang
kemudian menjadi Universitas Aligarh (1920). Sementara itu Amir Ali (1879-1928)
melalui buku The Spirit of Islam (diterjemahkan oleh HB Yassin dengan judul Api
Islam) berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuji di Iggris pada
masa Ratu Viktoria, Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad adalah pelopor agung
Rasionalisme. (William Mountgomery Walf; 132; Jurnal Ulumul Qur'an III/1/1992
hal. 43).
Di Mesir muncul Rifaah al-Thafthawi (1800-1873) dia tinggal 7 tahun di Paris dan kembali ke Mesir
pada tahun 1831, dia adalah peletak batu pertama dalam memusuhi hijab dengan
menghalalkan dansa antara laki-laki dan perempuan.
Pada tahun 1871 seorang Syi'ah Iran dating ke Mesir, dia adalah anggota
gerakan Masuriyah Yahudi yang berpaham Pluralisme (semua agama sama), karena ia
menyebarkan pemikiran revolusi menentang pemerintah, maka pada tahun 1879 oleh
Kadev Taufik, ia dikeluarkan dari Mesir, dia adalah Jamaludin al-Afghanai, guru
dari Muhammad Abduh (1849-1905).
Akar Fitnah dalam Sejarah Umat Islam Hingga Lahirnya JIL
oleh: Abu Hamzah al-Sanuwi, Lc, M.Ag
Muhammad Abduh
Abduh adalah murid al-Afghani yang paling menonjol, tapi pengaruhnya
melebihi gurunya karena latar belakang keagamaannya, setelah revolusi Arab oleh
murid-murid al-Afghani yang dipimpin oleh Ahmad Arabi, saat itu Abduh jadi
Syeikh al-Azhar, maka Abduh diasingkan ke Beirut. Hasil revolusi Arab adalah
Mesir dikendalikan oleh Iggris.
Setelah pulang dari pembuangan karena syafaat Iggris, Abduh pindah haluan,
dari revolusi menjadi reformasi (modernisasi) yang intinya adalah: mendekatkan
Islam dengan Barat atau menundukan (menyesuaikan) ajaran Islam dengan budaya
dan peradaban Barat. Hal ini telah dimulai oleh Abduh saat ia mendirikan
lembaga pendekatan antara agama-agama di Barat. Akhirnya atas petunjuk Konsul
Inggris di Mesir, Abduh diangkat jadi Mufti Mesir. Abduh memandang bahwa jihad
yang ada dalam Islam hanyalah membela diri, intinya ia ingin bermesraan dan
bergandengan dengan orang kafir, meskipun Mesir, negerinya sendiri dijajah para
penyembah salib.
Jadi programnya Abduh adalah:
- Mendekatkan kaum muslimin
kepada orang-orang kafir.
- Memupus semangat jihad agar
hidup tenang tidak ada masalah.
- Mengajak kepada Nasionalis
Mesir, pisah dari khilafah Islamiyah.
- Kontekstualisasi Islam agar
sesuai dengan kehidupan modern dengan cara ta'wil dan tahrif.
- Dakwah kepada pembebasan
wanita muslimah. Dalam hal ini Abduh dibantu oleh murid-muridnya yang
bernama Qasim amin (penulis buku Tahrir al-Marah, setelah beberapa tahun
ia menulis al-marah al-Jadidah) dan Luthfi Sayyid dan oleh
sahabat-sahabatnya terutama Thaha Husen. Mereka itulah yang memelopori
kelas campur dalam program tinggi di Mesir.
Al-Afghani dan Abduh menjadi besar karena dua kekuatan yang ada
dibelakangnya yaitu Masaniyah dan penjajah.
Perjuangan Abduh yang tadinya ingin membangun bendungan bagi umat Islam agar
tidak terkena terpaan gelombang sekularisme, ternyata menjadi jembatan
orang-orang sekularis.(lihat Sulaiman al-Kharasi, Al-Ashrariyah Qantharah
al-Almaniyah, di al-Karashi @Hotmail.com; Majalah al-Bayan vol. 149/1421 hal.
70,82,83).
Lalu muncul Ali Abdul Raziq (1880-1966) yang menentang system khilafah
Islamiyah, menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik karena Muhammad e
hanyalah pemimpin agama, semua jihad yang dilancarkannya hanyalah karena faktor
duniawi, sedangkan khilafah Rasyidah adalah pemerintahan yang tidak agamis.
Menurutnya hukum zaman nabi e itu tidak menentu dan ijma'-pun bukan hujjah,
karena itu ia divonis oleh para ulama sebagai ulama su'. Jejak Ali ini
diteruskan oleh Muhammad khalafullah (1926-1997) yang mengatakan bahwa: yang
dikehendaki oleh al-Qur'an hanyalah system demokrasi tidak ada yang lain.
(Charles: Xxi, 18).
Sedangkan di Tunis muncul Burqibah yang mencabuti hijab dari wanita-wanita Tunis, sehari setelah
kemerdekaan. Lalu Thahir al-Haddad penulis kitab Imra'ah Fi al-Syariah wa
al-Mujtama' pada tahun 1930).
Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di perancis,
ia menggagas tafsir al-Qur'an model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin
Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda),
antropologi, filsafat dan linguistic. Intinya ia ingin menela'ah Islam
berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan
keanekaragaman pemikiran Islam dengan keanekaragaman pemikiran di luar Islam. (Mu'adz,
Muhammad Arkoun Anggitan tentang cara-cara tafsir al-Qur'an, Jurnal Salam vol.
3 no. 1/2000 hal. 100-111; Abd. Rahman al-Zunaidi: 180; William M Watt: 143).
Di Pakistan muncul Fadzlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan
menjadi guru besar di Universitas Chicago.
Ia menggagas Tafsir kontekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan
terbaik menurutnya. Ia mengatakan al-Qur'an itu mengandung dua aspek: legal
spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh al-Qur'an adalah ideal moralnya,
karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan. (Fadzlul Rahman: 21; William
M. Watt: 142-143).
Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fadzlur Rahman di Chicago)
yang mempelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad
Wahib dan Abdurrahman Wahid. (Adnan Husaini dalam makalah Islam Liberal dan
Misinya, menukil dari Greg Barton, Sabili no. 15: 88).
Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaharuannya sejak tahun 1970-an.
Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan:
"Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian
(relatifisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan
memutlakkan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia,
yang kiranya merupakan inti setiap agama" (Nurchalis Madjid: 239).
(Majalah al-Sunnah: Edisi 04/1423 hal.15-16).
Jaringan Islam Liberal
Kemudian lahirlah apa yang disebut Jaringan Islam Liberal (JIL). Lahir di
Jl. Utan Kayu 68 H Jakarta.
Bermula dari diskusi maya di mailing list yang didirikan 8 maret 2001.
pemrakarsanya, sejumlah peneliti atau jurnalis, anak-anak muda. Mereka aktif di
Paramadina, NU, dan IAIN Ciputat, semisal Ulil Abshar Abdalla, Ichan Loulemba,
AE. Priyono, Luthfie Asysaukanie, A. Rumadi, Sugeng, A. Bakir Ikhsan, Nirwan
Akhmad Arsuka. Komunitasa di lapis duanya, banyak pula yang mantan aktifis
kelompok studi tahun 1980-an, yang kemudian sekolah sampai S3 di AS. Komunitas
tersebut makin mengkristal, mereka kemudian mengorganisasikan diri dalam wadah
JIL, dengan semboyan, "Menuju Islam yng membebaskan".
Latar belakang berdirinya, karena kecemasan berlebihan atas maraknya gerakan
Islam militan. Seperti tertulis dalam "Profile" www.Islamlib.com ,
dinyatakan bahwa lahirnya JIL sebagai reaksi atas bangkitnya apa yang ia
namakan "ekstrimisme dan fundamentalisme".
Istilah dan wacana Islam Liberal sendiri tidak lebih merupakan hasil
"kopi paste" dari Islamic Liberalism (Cicago 1988) karya Leonard
Binder, dan Liberal Islam (Oxford 1998). Hasil editan Charles Kurzman. Buku-buku
dari dua Islamolog ini, sempat menjadi bahan diskusi di sederetan kampus di Indonesia.
Ketika yayasan Paramadina menerbitkan edisi buku terjemahan Kurzman, semakin
menjamurlah perbincangan seputar "Islam" gaya baru ini. istilah "Islam"
Liberal dipopulerkan oleh Ali Asghar Fyzzer, intelektual muslim India pada
1950-an. Kurzman sendiri mengaku mengambil istilah itu dari Fyzzer.
Menurut Greg Barton, prinsip sentral "Islam Liberal" atau Neo
Modernisme: "suatu komitmen pada rasionalitas dan pembaruan, keyakinan
akan pentingnya kontekstualisasi ijtihad, penerimaan terhadap pluralisme sosial
dan pluralisme dalam ajaran agama, serta pemisahan agama dari partai-partai dan
posisi non sectarian Negara". Ringkasnya, tema-tema besar yang menjadi
agenda JIL adalah: Rasionalitas, kontekstualisasi ijtihad, pluralisme dan
sekularisme.
Deni JA, kolumnis yang juga anggota JIL menulis, "secara sengaja, kita
harus menempelkan kata Liberal di samping Islam, karena yang kita perjuangkan
bukan interpretasi Islam yang lain, tapi interpretasi Islam yang Liberal, yang
sesuai dengan dasar Negara modern seperti yang berkembang di Negara maju".
Ia juga berkata, "Islam Liberal adalah interpretasi Islam yang mendukung
atau paralel dengan civic kultur (pro pluralisme, equal oportuniti,
modernisasi, trust, tolerance, memiliki sense of kommuniti yang
nasional)".
Luthfi juga menulis, "
�kalau kita ingin bebas,
bebas dari apa dan bebas untuk apa. Saya kira jawabannya jelas: bebas dari
otoritas masa silam dan bebas untuk menafsirkan dan mengkritisi otoritas
tersebut". (Majalah al-Bun-yan Edisi I/ Th.II/ April 2002/Muharram 1423 H,
hal. 13-15).