Kamis, 03 April 2014

Akar Fitnah dalam Sejarah Umat Islam Hingga Lahirnya JIL



Akar Fitnah dalam Sejarah Umat Islam Hingga Lahirnya JIL

oleh: Abu Hamzah al-Sanuwi, Lc, M.Ag

A. Pada Masa Klasik

Dulu umat Islam adalah satu, agama Islam berdiri tegak pada masa khilafah Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhuma , takala Umar terbunuh secara syahid maka pecahlah pintu fitnah, orang-orang yang berhati busuk memimpin demontrasi hingga mereka menyembelih khalifah Usman ibn Affan al-Syahid tanpa ada perlawanan sedikitpun. Maka terpecahlah suara umat Islam hingga terjadilah peristiwa perang unta dan perang shiffin. Maka saat itu muncullah kelompok Khawarij yang mengkafirkan para sahabat-sahabat besar, lalu muncul Syi'ah (Rafidhah) dan Nashibah.
Pada masa akhir sahabat, muncul Qadariyah, lalu muncul Mu'tazilah di Bashrah, Jahmiyah dan Mujassimah di Khurasan di tengah-tengah masa Tabi'in ketika sunnah dan orang-orangnya masih berkuasa, maka ketika masuk abad ketiga, muncullah khalifah al-Makmun yang cerdik dan rasionallis, dia mendatangkan buku-buku filsafat yunani hingga Jahmiyah dan Mu'tazilah mengangkat kepala, begitu pula Syi'ah. (Siyar A'lam al-Nubala 11/236).
  1. khawarij
Mereka adalah pengikut Ali yang kecewa dengan tahkim, mereka meyakini bahwa tahkim tersebut maksiat dan kufur, lalu mereka terpecah menjadi 20 kelompok dan yang masih tersisa hingga kini adalah al-Ibadiyah. Mereka menganggap semua sahabat sebelum tahkim adalah adil semua, kemudian mereka mengkafirkan sahabat dan orang-orang yang ridha dengan tahkim, dengan demikian banyak sunnah Nabi yang mereka ingkari, terutama hadits-hadits tentang fadhilah ahlu bait.
  1. Syi'ah
Mereka adalah kelompok yang melampaui batas dalam mencintai Ali t, hingga mereka mengkafirkan semua sahabat kecuali empat hingga lima belas sahabat yang dianggap setia dengan Ali. Dengan demikian mereka menolak sunnah-sunnah Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi e , terutama mereka mengingkari hadits-hadits tentang manaqib sahabat t .
  1. Mu'tazilah
Paham I'tizal yang dicetuskan oleh Wasil ibn Atha' (w. 131 H), tidaklah mengikuti jalur politik sebagaimana khawarij dan syi'ah, tetapi mengikuti jalur pemikiran murni yang dibangun di atas logika filsafat Yunani, sehingga mereka mengingkari hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah dan tentang ghaibiyyat.
Mu'tazilah terpecah menjadi 22 kelompok yang saling mengkafirkan di antara mereka. Di antara pecahan mereka adalah:
- Washiliyah: pengikut Wasil ibn Atha' yang meragukan keadilan para sahabat sejak terjadinya fitnah (terbunuhnya Usman).
- Amriyah: Pengikut Amr ibn Ubait yang meyakini kefasikan para sahabat sejak zaman fitnah.
- Nazhzhamiyah: Pengikut Abu Ishaq Ibrahim ibn Sayyar al-Nazhzhami, yang mencaci maki para sahabat-sahabat besar dan menuduh mereka dengan kata-kata dusta, bodoh dan munafik. Ketiga kelompok ini menolak sunnah-sunnah Nabi yang riwayatnya dari para sahabat tersebut. Lebih dari itu al-Nazhzhami mengingkari hujjah ijma' dan qiyas dan mengkirai Qath'iyah hadits mutawatir.
- Hudzailiyyah: pengikut Muhammad ibn al-Hudzail al-Allaf, yang menolak hadits ahad kecuali jika diriwayatkan oleh 20 orang yang salah satunya adalah ahli Syurga.
Dengan demikian yang membuka pintu lebar-lebar bagi para Orientalis untuk mencela dan mendustakan para sahabat Nabi e adalah kaum Mu'tazilah setelah sebelumnya dilakukan oleh Syi'ah.
  1. Pengaruh Mu'tazilah pada sebagian ahli fiqh
Setelah serangan Mu'tazilah tehadap sunnah, maka muncullah tokoh Mu'tazilah Bisyr al-Murisi (w. 218 H) yang dalam fiqh menganut madzhab Hanafi, begitu pula Qadhi Isa ibn Aban (w. 221 H), mereka berdua berpendapat bahwa Qiyas (akal) harus didahulukan dari pada hadits ahad bila perawinya tidak faqih seperti Abu Hurairah dan Anas ibn Malik t . pemikiran mereka yang menyimpang ini tidak laku hingga akhirnya ada kelompok mutaakhkhirin dari orang-orang Hanafiyah yang membangun ushul dan furu' berdasarkan pendapat Isa ibn Aban ini, sehingga mereka menta'wil hadits-hadits shahih dengan ta'wil yang bathil. (lihat, Shalahudin Maqbul, Zawabi' Fi Wajh al-Sunnah hal. 51-65).

B. Pada Masa Modern

Pada masa modern ini sunnah banyak mendapatkan perlawanan dari orang-orang yang jatuh mentalnya dan merasa inforioritas di hadapan peradaban Barat yang menjadi penjajah.
Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1890 M) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Iggris, ia juga menolak Tafsir al-Qur'an yang sudah ada, ia kemudian menulis tafsir dalam 6 jilid dengan metode baru yang banyak dipengaruhi oleh budaya barat, ia juga menolak ijma' dan konsep ijjtihad. Pada tahun 1877 ia membuka suatu kolese yang kemudian menjadi Universitas Aligarh (1920). Sementara itu Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit of Islam (diterjemahkan oleh HB Yassin dengan judul Api Islam) berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuji di Iggris pada masa Ratu Viktoria, Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad adalah pelopor agung Rasionalisme. (William Mountgomery Walf; 132; Jurnal Ulumul Qur'an III/1/1992 hal. 43).
Di Mesir muncul Rifaah al-Thafthawi (1800-1873) dia tinggal 7 tahun di Paris dan kembali ke Mesir pada tahun 1831, dia adalah peletak batu pertama dalam memusuhi hijab dengan menghalalkan dansa antara laki-laki dan perempuan.
Pada tahun 1871 seorang Syi'ah Iran dating ke Mesir, dia adalah anggota gerakan Masuriyah Yahudi yang berpaham Pluralisme (semua agama sama), karena ia menyebarkan pemikiran revolusi menentang pemerintah, maka pada tahun 1879 oleh Kadev Taufik, ia dikeluarkan dari Mesir, dia adalah Jamaludin al-Afghanai, guru dari Muhammad Abduh (1849-1905).

Akar Fitnah dalam Sejarah Umat Islam Hingga Lahirnya JIL

oleh: Abu Hamzah al-Sanuwi, Lc, M.Ag

Muhammad Abduh

Abduh adalah murid al-Afghani yang paling menonjol, tapi pengaruhnya melebihi gurunya karena latar belakang keagamaannya, setelah revolusi Arab oleh murid-murid al-Afghani yang dipimpin oleh Ahmad Arabi, saat itu Abduh jadi Syeikh al-Azhar, maka Abduh diasingkan ke Beirut. Hasil revolusi Arab adalah Mesir dikendalikan oleh Iggris.
Setelah pulang dari pembuangan karena syafaat Iggris, Abduh pindah haluan, dari revolusi menjadi reformasi (modernisasi) yang intinya adalah: mendekatkan Islam dengan Barat atau menundukan (menyesuaikan) ajaran Islam dengan budaya dan peradaban Barat. Hal ini telah dimulai oleh Abduh saat ia mendirikan lembaga pendekatan antara agama-agama di Barat. Akhirnya atas petunjuk Konsul Inggris di Mesir, Abduh diangkat jadi Mufti Mesir. Abduh memandang bahwa jihad yang ada dalam Islam hanyalah membela diri, intinya ia ingin bermesraan dan bergandengan dengan orang kafir, meskipun Mesir, negerinya sendiri dijajah para penyembah salib.
Jadi programnya Abduh adalah:
  1. Mendekatkan kaum muslimin kepada orang-orang kafir.
  2. Memupus semangat jihad agar hidup tenang tidak ada masalah.
  3. Mengajak kepada Nasionalis Mesir, pisah dari khilafah Islamiyah.
  4. Kontekstualisasi Islam agar sesuai dengan kehidupan modern dengan cara ta'wil dan tahrif.
  5. Dakwah kepada pembebasan wanita muslimah. Dalam hal ini Abduh dibantu oleh murid-muridnya yang bernama Qasim amin (penulis buku Tahrir al-Marah, setelah beberapa tahun ia menulis al-marah al-Jadidah) dan Luthfi Sayyid dan oleh sahabat-sahabatnya terutama Thaha Husen. Mereka itulah yang memelopori kelas campur dalam program tinggi di Mesir.
Al-Afghani dan Abduh menjadi besar karena dua kekuatan yang ada dibelakangnya yaitu Masaniyah dan penjajah.
Perjuangan Abduh yang tadinya ingin membangun bendungan bagi umat Islam agar tidak terkena terpaan gelombang sekularisme, ternyata menjadi jembatan orang-orang sekularis.(lihat Sulaiman al-Kharasi, Al-Ashrariyah Qantharah al-Almaniyah, di al-Karashi @Hotmail.com; Majalah al-Bayan vol. 149/1421 hal. 70,82,83).
Lalu muncul Ali Abdul Raziq (1880-1966) yang menentang system khilafah Islamiyah, menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik karena Muhammad e hanyalah pemimpin agama, semua jihad yang dilancarkannya hanyalah karena faktor duniawi, sedangkan khilafah Rasyidah adalah pemerintahan yang tidak agamis. Menurutnya hukum zaman nabi e itu tidak menentu dan ijma'-pun bukan hujjah, karena itu ia divonis oleh para ulama sebagai ulama su'. Jejak Ali ini diteruskan oleh Muhammad khalafullah (1926-1997) yang mengatakan bahwa: yang dikehendaki oleh al-Qur'an hanyalah system demokrasi tidak ada yang lain. (Charles: Xxi, 18).
Sedangkan di Tunis muncul Burqibah yang mencabuti hijab dari wanita-wanita Tunis, sehari setelah kemerdekaan. Lalu Thahir al-Haddad penulis kitab Imra'ah Fi al-Syariah wa al-Mujtama' pada tahun 1930).
Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di perancis, ia menggagas tafsir al-Qur'an model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan linguistic. Intinya ia ingin menela'ah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan keanekaragaman pemikiran Islam dengan keanekaragaman pemikiran di luar Islam. (Mu'adz, Muhammad Arkoun Anggitan tentang cara-cara tafsir al-Qur'an, Jurnal Salam vol. 3 no. 1/2000 hal. 100-111; Abd. Rahman al-Zunaidi: 180; William M Watt: 143).
Di Pakistan muncul Fadzlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas Tafsir kontekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan al-Qur'an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh al-Qur'an adalah ideal moralnya, karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan. (Fadzlul Rahman: 21; William M. Watt: 142-143).
Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fadzlur Rahman di Chicago) yang mempelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid. (Adnan Husaini dalam makalah Islam Liberal dan Misinya, menukil dari Greg Barton, Sabili no. 15: 88).
Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaharuannya sejak tahun 1970-an. Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: "Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian (relatifisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan memutlakkan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama" (Nurchalis Madjid: 239). (Majalah al-Sunnah: Edisi 04/1423 hal.15-16).

Jaringan Islam Liberal

Kemudian lahirlah apa yang disebut Jaringan Islam Liberal (JIL). Lahir di Jl. Utan Kayu 68 H Jakarta. Bermula dari diskusi maya di mailing list yang didirikan 8 maret 2001. pemrakarsanya, sejumlah peneliti atau jurnalis, anak-anak muda. Mereka aktif di Paramadina, NU, dan IAIN Ciputat, semisal Ulil Abshar Abdalla, Ichan Loulemba, AE. Priyono, Luthfie Asysaukanie, A. Rumadi, Sugeng, A. Bakir Ikhsan, Nirwan Akhmad Arsuka. Komunitasa di lapis duanya, banyak pula yang mantan aktifis kelompok studi tahun 1980-an, yang kemudian sekolah sampai S3 di AS. Komunitas tersebut makin mengkristal, mereka kemudian mengorganisasikan diri dalam wadah JIL, dengan semboyan, "Menuju Islam yng membebaskan".
Latar belakang berdirinya, karena kecemasan berlebihan atas maraknya gerakan Islam militan. Seperti tertulis dalam "Profile" www.Islamlib.com , dinyatakan bahwa lahirnya JIL sebagai reaksi atas bangkitnya apa yang ia namakan "ekstrimisme dan fundamentalisme".
Istilah dan wacana Islam Liberal sendiri tidak lebih merupakan hasil "kopi paste" dari Islamic Liberalism (Cicago 1988) karya Leonard Binder, dan Liberal Islam (Oxford 1998). Hasil editan Charles Kurzman. Buku-buku dari dua Islamolog ini, sempat menjadi bahan diskusi di sederetan kampus di Indonesia. Ketika yayasan Paramadina menerbitkan edisi buku terjemahan Kurzman, semakin menjamurlah perbincangan seputar "Islam" gaya baru ini. istilah "Islam" Liberal dipopulerkan oleh Ali Asghar Fyzzer, intelektual muslim India pada 1950-an. Kurzman sendiri mengaku mengambil istilah itu dari Fyzzer.
Menurut Greg Barton, prinsip sentral "Islam Liberal" atau Neo Modernisme: "suatu komitmen pada rasionalitas dan pembaruan, keyakinan akan pentingnya kontekstualisasi ijtihad, penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme dalam ajaran agama, serta pemisahan agama dari partai-partai dan posisi non sectarian Negara". Ringkasnya, tema-tema besar yang menjadi agenda JIL adalah: Rasionalitas, kontekstualisasi ijtihad, pluralisme dan sekularisme.
Deni JA, kolumnis yang juga anggota JIL menulis, "secara sengaja, kita harus menempelkan kata Liberal di samping Islam, karena yang kita perjuangkan bukan interpretasi Islam yang lain, tapi interpretasi Islam yang Liberal, yang sesuai dengan dasar Negara modern seperti yang berkembang di Negara maju". Ia juga berkata, "Islam Liberal adalah interpretasi Islam yang mendukung atau paralel dengan civic kultur (pro pluralisme, equal oportuniti, modernisasi, trust, tolerance, memiliki sense of kommuniti yang nasional)".
Luthfi juga menulis, "kalau kita ingin bebas, bebas dari apa dan bebas untuk apa. Saya kira jawabannya jelas: bebas dari otoritas masa silam dan bebas untuk menafsirkan dan mengkritisi otoritas tersebut". (Majalah al-Bun-yan Edisi I/ Th.II/ April 2002/Muharram 1423 H, hal. 13-15).

1 komentar: